Muhammad Haidir
Mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat FIKES Uhamka
Lonjakan jumlah penganggur tidak menggembirakana, tetapi sama sekali tidak mengejutkan. Badan Pusat Statistik telah mengumumkan situasi terkini perekonomian, termasuk di dalamnya masalah ketenagakerjaan, yang disampaikan bahwa terjadi peningkatan jumlah penganggur sebanyak 3,67 juta orang sehingga secara keseluruhan jumlahnya menjadi 9,77 juta per Agustus 2020. Implikasinya, angka pengangguran naik dari 5,23 persen (Agustus 2019) menjadi 7,07 persen.
Perhitungan ini sangat mungkin juga tidak merangkum sektor-sektor informal yang skala rumahan sebagai unit usaha dan jasa mikro yang tidak terdata di kementrian maupun pemerintah daerah, seperti pedagang keliling, tukang ojekm dan buruh serabutan, seiring dengan makin banyak daerah yang ditetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Jika secara eksponensial penderita Covid-19 terus bertambah dan grafik tidak menunjukkan turun secara konstan, implikasi kelompok usaha dengan berbagai skala juga akan makin bantak terkena dampaknya, mulai merumahkan karyawan hingga terjadi PHK.
Pada saat yang sama, pemerintah perlu bertindak sebagai employer of last resort (ELR) dengan memperluas program Padat Karya Tunai (cash for work), meluncurkan investasi publik berskala besar, merancang skema jaminan pekerjaan (job guarantee).
Kondisi kali ini harus diakui memang tidak mudah dan bahkan jauh lebih kompleks karena pandemi covid-19 hampir melumpuhkan seluruh aktivitas perekonomian. Namun, dengan memandang pengangguran sebagai epidemi tersembunyi dan ditangani layaknya pasien Covid-19, agenda penurunan lonjakan pengangguran rasanya tetap tidak mustahil untuk dicapai.