Notification

×

Iklan

Iklan

Negeri Ini Tak Kekurangan Ahli Bicara, tetapi Negara Kekurangan Pemimpin yang Mau Bekerja

09 Desember 2025 | Selasa, Desember 09, 2025 WIB | Last Updated 2025-12-08T22:41:44Z

Oleh : Amalia Cahaya


Banjir bandang di Sumatera bukan hanya bencana alam—ini adalah bencana kepemimpinan.

Air bah baru saja surut, tetapi kemarahan rakyat belum. Di tengah ribuan warga yang masih kehilangan keluarga, masih kelaparan, dan masih hidup dalam kecemasan, para pejabat kita malah tampil seperti biasa: penuh pidato, minim tindakan.

Rakyat tidak butuh penjelasan panjang.

Tidak butuh rapat maraton.

Tidak butuh drama saling tuding.

Saat ini yang rakyat butuh adalah tangan yang bekerja, bukan mulut yang tak berhenti bicara.

Sementara itu, dunia luar menunjukkan apa arti empati tanpa syarat. Tanpa meminta izin untuk tampil, tanpa menunggu kesempatan untuk diumumkan, negara-negara sahabat langsung mengulurkan tangan:

Amerika Serikat mengirim alat berat, tenaga teknis, dan stabilizer untuk pembersihan jalur evakuasi.

Malaysia mengirim kontainer logistik, makanan siap santap, dan tim respon cepat.

Singapura mengirim pasukan SAR, tim medis, serta sistem penjernih air portabel yang bisa menyelamatkan ribuan jiwa.

Mereka bergerak cepat, karena bagi mereka, bencana adalah panggilan kemanusiaan. Bukan panggung politik.

Lalu bagaimana dengan pemerintah kita?

Masih sibuk memberi klarifikasi.

Masih sibuk rapat.

Masih sibuk mengatur narasi agar terlihat “bekerja”.

Yang lebih menyakitkan, rakyat mendengar kabar bahwa negara ini menolak bantuan PBB.

Untuk apa?

Demi gengsi politik?

Demi kalkulasi hubungan internasional?

Di tengah korban yang terus bertambah, keputusan semacam itu terasa seperti tamparan bagi seluruh rakyat.

PBB datang bukan untuk mengambil alih kedaulatan; mereka datang untuk menyelamatkan nyawa yang sedang menunggu bantuan.

Rakyat sudah lelah melihat pejabat berdialog panjang di televisi, sementara di lapangan tenda masih kurang, obat masih minim, dan makanan masih tidak merata.

Anak-anak menangis karena trauma.

Ibu kehilangan anaknya.

Ayah kehilangan seluruh keluarganya.

Tapi pejabat masih sibuk menyusun kalimat “yang tepat” untuk menjelaskan kegagalan mereka.

Jika empati tak bisa tumbuh di hati para pemimpin, maka setidaknya lihatlah bagaimana negara lain memperlakukan rakyat kita.

Mereka tidak memikirkan reputasi.

Mereka hanya memikirkan nyawa.

Dan di titik inilah rakyat kembali bertanya:

Jika dunia luar bisa peduli tanpa banyak bicara, mengapa pemimpin negeri ini justru terlalu banyak bicara tanpa peduli?

Bencana ini akan dikenang bukan hanya sebagai amuk alam,

tetapi sebagai cermin paling jelas bahwa negeri ini kekurangan pemimpin; 

bukan kekurangan ahli bicara.

=