Serambiupdate.com - Komisi X DPR RI menyoroti kasus perundungan pada tingkat sekolah yang semakin hari semakin tinggi. Sekolah bukan menjadi tempat untuk menimba ilmu, namun maenjadi tempat perundungan hingga kekerasan. Salah satu anggota Komisi X DPR RI yaitu Mustafa Kamal mengatakan, masa depan anak kita dalam kondisi darurat perundungan atau bullying.
“Kalau tidak bisa dikonsolidasikan oleh negara, darurat perundungan ini sulit diselesaikan,” ungkapnya.
Untuk itu, Mustafa meminta semua pihak memperhatikan kasus perundungan yang tinggi di Indonesia. Kasus ini semakin parah dan terus terjadi. Perilaku negatif dan kekerasan terhadap anak harus dihindari secara aktif oleh semua pihak. Ia menemukan bahwa jumlah kasus perundungan yang tinggi dapat dikaitkan dengan jumlah besar informasi negatif yang diterima anak-anak dari perangkat digital. Internet membantu menyebarkan nilai-nilai kekerasan pada anak. Baik deteksi maupun prediksinya gagal dilakukan oleh pendidikan. sehingga informasi anak tidak difilter.
“Anak-anak kita adalah bagian dari masa depan bangsa. Apabila kita sampai salah dan gagal dalam membina sekaligus mendidik mereka, maka masa depan bangsa berada dalam ancaman,” ujarnya.
Selain itu, sistem pendidikan tidak mampu menanamkan karakter yang baik pada anak-anak. Mustafa juga menyayangkan bahwa kurikulum belajar bebas tidak memperhatikan pertumbuhan karakter siswa.
“Dalam konteks ini, kemampuan sekolah sangat minim untuk membangun karakter baik pada anak. Muatan Kurikulum Merdeka yang ada saat ini rasanya perlu memasukkan lebih banyak indikator pembangunan karakter,” harapnya.
Di lain pihak, Muhammad Nur Purnamasidi, anggota Komisi X DPR, menyatakan hal yang sama. Ia berpendapat bahwa jumlah kasus perundungan anak di sekolah menunjukkan, Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya berhasil. Dengan demikian, ia mendesak Kemendikbudristek untuk segera menemukan solusi atas masalah tersebut.
“Saya sangat prihatin dengan fenomena maraknya kasus perundungan ini. Padahal basis tujuan dari Kurikulum Merdeka ini adalah membangun dan mewujudkan insan Pancasilais, pelajar Pancasila. Namun bila merujuk fenomena yang terjadi, malah tak menghasilkan pelajar yang menganut prinsip Pancasila. Ini satu anomali dari cita-cita untuk mewujudkan pelajar Pancasila dengan perilaku yang sangat tidak pancasilais,” ujar Purnamasidi.
Adapun Aris Adi Leksono, Komesioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyatakan bahwa Indonesia mengalami darurat kekerasan terhadap anak, terutama di bidang pendidikan. Ini ditunjukkan oleh banyaknya perundungan dan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan di beberapa tempat, seperti Jakarta, Cilacap, Demak, Gresik, Lamongan, Balikpapan, dan lainnya.
“Sesuai data dari KPAI hingga Agustus 2023 tercatat setidaknya 810 kasus kekerasan anak di lingkungan sosial dan sekolah. Karena angka tersebut cenderung meningkat setiap bulan, perlu ada komitmen bersama untuk mengurangi tingkat kekerasan anak, terutama di satuan Pendidikan,” kata Aris.
( Yudha Tria/adp)