Notification

×

Iklan

Iklan

Bagaimana Pendidikan Indonesia Ditengah Pandemi COVID-19?

27 Juni 2021 | Minggu, Juni 27, 2021 WIB | Last Updated 2021-06-30T23:49:10Z

Karya Kurnaedi

Mahasiswa FEB Uhamka

Corona Virus Disease 19 (Covid-19) barangkali menjadi krisis terbesar yang terjadi pada generasi kita. Melansir dari laporan real-time Jhons Hopkins University & Medicine, memasuki bulan April 2020 tercatat sudah 181 Negara yang terinfeksi virus yang belum ada vaksinnya ini.


Banyak tindakan darurat yang diterapkan oleh pemerintah di Indonesia berbagai Negara untuk memutus rantai penyebaran corona, termasuk pemerintah Indonesia. Salah satu kebijakan darurat yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengeluarkan arahan untuk merubah sistem pembelajaran di semua instansi pendidikan. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dilakukan secara daring dari rumah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.


Kemajuan teknologi internet disatu sisi telah memudahkan umat manusia untuk berinteraksi tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dalam hal pemakaian internet, menurut riset platform manajemen media social HootSuite dan agensi marketing social We Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020”, sebanyak 175,4 juta atau  hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.


Dalam situasi ini jelas ada beberapa poin keuntungan atupun keurugian yang dihasilkan bagi sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Dalam system pendidikan sekarang, berkembangnya ideologi pasar merupakan konsekuensi dari kebijakan sistem pemerintahan Indonesia yang berpihak pada kapitalisime global. Pemaksaan penerapan hukum Neoliberalisme pada dunia pendidikan, berdampak pada liberalisme pendidikan.


Banyaknya yang berekpektasi bahwa datannya virus Corona membawa berkah berupa terwujudnya tatanan sosialisme di dunia. Optimisme ini terbangun karena melihat bahwa ekonomi dunia sedang menghadapi keruntuhan. Corona membawa tekanan ekonomi yang mengharuskan tatanan kapitalisme  lama untuk runtuh.


Era neoliberalisme yang selama ini menjadikan pendidikan sebagai komoditi bisnis pun kabarnya sedang diambang keruntuhan. Lihat saja, kebijakan pembatasan social (social distance)  di Indonesia mengharuskan para pelajar hingga mahasiswa untuk tidak datang ke sekolah. Mulai bermunculan nada-nada protes untuk pengambilan SPP/UKT, penghapusan UN (pada akhirnya dikabulkan), penghapusan Skripsi, dan sebagainnya. Selama ini, SPP/UKT, UN dan Skripsi menjadi wujud nyata dari komersialisasi di sektor pendidikan.


Namun, ditengah wabah virus Corona ini nyatanya praktik pendidikan di Indonesia tak juga menyenangkan. KMB hanya sekedar dipindahkan dari yang sebelumnnya tatap muka di kelas nyat , sekarang bertatap muka via gawai di kelas maya dengan jumlah murid yang sama.


Tugas sekolah atau perkuliahan yang sebelumnya diberikan di kelas dan dikumpulkan di meja guru, sekarang dikumpulkan via email atau media sosial sang guru. Uang yang biasa digunakan untuk ongkos transportasi ke sekolah, sekarang digunakan untuk membeli kouta internet yang lebih besar agar mampu mengikuti pembelajaran daring tanpa  ‘lemot’.


Namun banyak keluhan-keluhan yang bermunculan. Para mahasiswa mengeluhkan UKT-nya sudah terlanjur dibayarkan penuh tapi tidak dapat menggunakan fasilitas kampus sama sekali selama 1 semester ini. Beberapa diantara mereka menuntut kampusnya untuk merelokasi anggaran fasilitas kampus menjadi subsidi untuk membeli kouta internet. Ada yang disetujui, ada yang ditolak mentah-mentah oleh rektor kampusnya.


Kemudian, para guru dan tenaga pendidikan honorer juga mengeluh karena gajinya tidak dibayarkan oleh sekolah dengan alasan yang digaji hanya guru tetap yang memberikan pembelajaran daring ke siswa tidak di gaji.

Belum lagi tidak meratanya insfrastruktur seperti listrik, jaringan internet dan kepemilikan gawai di kalangan masyarakat  menjadi penghalang untuk melakukan pembelajaran daring hingga ke pelosok negeri. Ketika ini tidak diselesaikan dengan segera maka ketimpangan kualitas pendidikan akan semakin tinggi dan liberalisasi di sektor pendidikan semakin ugal-ugalan.


Ketika Mendikbud menerbitkan Surat Edaran tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah untuk Mencegah Penyebaran Covid-19 kemarin saja, coba pikirkan bagaimana ekpresi kebingungan yang tampak dari saudara-saudara kita di ujung papua sana? Atau  bagaimana dengan mereka yang berada di pedalaman Sumatera dan Kalimantan, yang listrik pun jarang hidup apalagi internet? Kenapa didalam Surat Edaran tersebut tidak menyinggung sedikitpun tentang alternatif pembelajaran seperti apa yang dapat mereka lakukan di tengah wabah itu?


Kondisi ini nyatanya tidak menguntungkan kita sama sekali. Justru disamping keluhan-keluhan tersebut, para borjuasi sedang berpesta karena pundi-pundi uangnya bertambah. Forbes mencatat ada 178 orang yang kini menjadi miliarder akibat pandemi ini. Salah satunya adalah Eric Yuan, pendiri aplikasi telekonfrensi Zoom Video Communications.


Dalam 3 bulan terakhir (Januari-Maret), kekayaan Eric bertambah USD 4 miliar atau di kisaran Rp 66 triliun. Adapun harta total diestimasi sudah mencapai USD 7,5 miliar berdasarkan kepemilikan saham di Zoom.


Maklum, Zoom kini memang jadi aplikasi paling popular di tengah keterbatasan gerak orang-orang di luar rumah. Zoom jadi aplikasi andalan yang digunakan orang untuk bekerja di rumah, mengadakan kelas daring, hingga sekedar berinteraksi dengan kerabat di Negara-Negara yang melarang warganya keluar rumah guna mencegah penyebaran virus corona.

=