Viola Alfiorelia
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat FIKES Uhamka
Pandemi
Covid-19 berdampak pada semua sektor kehidupan, tidak terkecuali pendidikan.
Sebagai akibatnya, sebagian materi pembelajaran menjadi tugas mandiri peserta
didik, maka menjadi “lumrah” jika pendidik memberi banyak tugas bahkan melebihi
waktu yang seharusnya untuk pembelajaran. banyaknya tugas ternyata memunculkan
“konsultan” jasa pembuatan tugas yang marak di sekitar kita, bahkan tidak
tanggung-tanggung melayani juga ujian secara real time di masa pandemi,
sebutlah semacam “joki ujian”.
Sederhananya,
“konsultan” jasa pembuatan tugas mulai tugas SD, SMP, SMA, sampai perguruan
tinggi merupakan ekuilibrium yang merefleksikan kemampuan satu pihak dan
harapan pihak lain. Di satu sisi ada orang yang melihat peluang untuk
menyediakan apa yang diharapkan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat memang
menginginkannya. Apakah selesai sampai di sini?
Belajar
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar memiliki kompetensi
berupa keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan. Belajar juga dapat
dipandang sebagai sebuah proses elaborasi dalam upaya pencarian makna yang
dilakukan oleh individu. Proses belajar pada dasarnya dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan atau kompetensi profesional.
Belajar
pada usia anak lebih efektif dilakukan dengan cara bermain. Bermain adalah
suatu kegiatan yang serius tetapi mengasyikkan. Melalui aktivitas bermain,
berbagai pekerjaannya terwujud. Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri
oleh anak, karena menyenangkan bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian.
Melalui bermain dan berbagai permainan yang menyenangkan, peserta didik dapat
mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental
intelektual dan spritual dalam sebuah pembelajaran.
maksud pemberian tugas adalah “memaksa”
melakukan kegiatan belajar mandiri, yang umumnya terjadi karena materi
pembelajaran begitu banyak, sementara waktu untuk pembelajaran daring tidak
memadai. Di masa pandemi, tugas peserta
didik diberikan melalui sistem komputer berbasis Internet, bahkan tidak jarang
koreksi pun otomatis melalui sistem. Tidak ada jaminan proses dan waktu yang
lebih pendek dan instan ini dikerjakan sendiri oleh peserta didik. Tanpa
mengerjakan sendiri, peserta didik akan mengalami kesulitan memahami materi
pembelajaran itu, sehingga keputusan memakai “konsultan” jasa pembuatan tugas
itu bagaikan menyelesaikan masalah dengan masalah lain.
Persoalannya
sekarang apa tanggung jawab pendidik dan orang tua? Pendidik perlu
mempertimbangkan tujuan yang hendak dicapai dari tugas itu, menentukan jenis
tugas yang tepat sesuai kemampuan dan waktu penyelesaian tugas, bahkan
menentukan metode pengerjaan yang meminimalkan berbagai bentuk kecurangan.
Pembelajaran daring, serta merta menyadarkan kita akan potensi luar biasa internet yang belum dimanfaatkan sepenuhnya dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Tanpa batas ruang dan waktu, kegiatan pendidikan bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun. Terlebih lagi, di era dimana belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir, sehingga pembelajaran daring adalah kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Namun, dibalik setiap sisi positif suatu hal, pastilah
tersimpan sisi negatif, atau setidaknya kemungkinan buruk yang bisa saja
terjadi. Meskipun secara formal kegiatan pendidikan masih bisa dilakukan secara
daring, namun karena siswa dan mahasiswa harus belajar di rumah, pendidikan
karakter selama masa pandemi ini, rasanya menjadi sedikit terabaikan.
ketika kegiatan pendidikan dilakukan secara daring,
dimana yang terjadi lebih banyak hanyalah proses pembelajaran, atau transfer
pengetahuan saja, tak ada yang bisa menjamin siswa atau mahasiswa mendapatkan
pendidikan karakter dari kedua orang tua mereka sesuai dengan nilai-nilai yang
selama ini diajarkan oleh institusi pendidikan.
Misalnya saja di beberapa sekolah Islam, yang menekankan
pendidikan karakter dengan kegiatan peribadatan seperti sholat sunnah dan wajib
secara berjama’ah, atau pengajian Al Quran, otomatis saat ini tidak bisa
melakukan kegiatan tersebut, karena siswa-siswa harus belajar di rumah. Memang,
mungkin saja beberapa sekolah telah membuat mekanisme pelaporan kegiatan ibadah
siswa di rumah, namun tetap saja kehadiran guru dan pendidik serta interaksi
mereka dengan para siswa secara langsung diperlukan untuk pelaksanaan
pendidikan karakter yang komprehensif.