Menurut Satriwan, Kemendikbudristek
belum optimal menyiapkan konsep ini. Sebagai contoh, buku teks pelajaran
kurikulum baru yang belum ada hingga 11 Juli. Padahal, 12 Juli sudah dimulai
tahun ajaran baru. “Sekolah Penggerak di 2.500 sekolah apa bisa mengakses
internet? Sedangkan Kemendikbud menyampaikan buku-buku via WhatsApp, website,”
katanya.
Alasan lainnya, Satriwan menilai
perangkat pembelajaran kurikulum Sekolah Penggerak belum tersedia lengkap.
Pemahaman guru terhadap kurikulum baru ini juga masih minim dan meraba-raba, hal
ini dikarenakan pelatihan bagi guru yang kurang maksimal. Para guru di SMP
maupun SMA hanya mendapat pelatihan intens selama 10 hari secara daring.
Bahkan, pelatihan terhadap guru SMP baru selesai pada 5 Juli lalu atau sepekan
sebelum tahun ajaran baru.
Satriwan yang juga mengikuti
pelatihan terkait kurikulum baru ini mengatakan, banyak guru yang mendapatkan
nilai tes rendah terkait pemahamannya atas kurikulum baru tersebut. Satriwan
menyampaikan “Ketika post test, nilainya
kecil-kecil. Bayangkan nilai mereka 50, 55, 40, apa layak untuk mengejar
kurikulum baru?” ujarnya.
Sebetulnya, Satriwan sendiri
setuju dengan ide penyederhanaan kurikulum Sekolah Penggerak. Namun,
persiapannya masih belum matang. Menurut dia, implementasi kurikulum ini bisa
membebani orang tua dan siswa jika kompetensi guru masih bermasalah terlebih kondisi pandemi saat ini masih mengkhawatirkan.
Satriwan beropini semestinya
Kemendikbudristek melakukan uji publik, sosialisasi, dan pelatihan bagi guru
yang optimal. “Jika kondisi di atas tetap dipaksakan, anak akan menjadi korban
kebijakan yang tidak konstruktif di masa krisis,” ucapnya soal rencana
pelaksanaan
kurikulum baru sekolah penggerak.