Notification

×

Iklan

Iklan

Modernisme dan Post-Modernisme

07 Juli 2021 | Rabu, Juli 07, 2021 WIB | Last Updated 2021-07-07T13:02:33Z


Karya Atief Arezal Fatah

Mahasiswa FKIP Uhamka



Sejenak kita melihat dengan kacamata luas perkembangan zaman hari ini, yang dengan rentan waktu singkat namun relatif cepat memunculkan varietas-varietas budaya, gaya hidup juga cara berkomunikasi yang baru seringkali nihil nilai reflektif terhadap hal-hal mengenai modernitas. Meminjam pisau analisa sejarah, kita musti melihat faktor-faktor yang menjadi pendukung utama perkembangan peradaban modern hari ini, darimana, bagaimana dan mengapa hal ini menjadi bola salju yang tidak terhentikan. Pada dasarnya kita dapat menarik garis lurus penyebab utama dari modernisme ini yaitu :
Kemenangan absolut Rasionalisme dan Empirisme terhadap resistensi hegemoni Teologi. Di masa lalu, khususnya dataran Eropa beserta Balkan yang merupakan peninggalan era Romawi-Yunani Kuno mengalami pergantian kekuasaan yang didominasi Gereja dan pemerintahan bercorak Monarki-Aristokrasi. Abad Pertengahan ( 5-15 Masehi ) gereja kristen memegang penuh kendali atas masyarakat awam dengan proses indoktrinasi dan inkuisisi terhadap gerakan-gerakan kesadaran masyarakat intelektual ( meminjam istilah Antonio Gramsci yaitu Intelektual Organik ) yang mulai menyadari betapa pengekangan terhadap kebebasan yang menggiring masyarakat menuju kehancuran sosial.  3G ( Gold, Gospel dan Glory ) atau merkantilisme yang mengawali proses kolonialisasi juga penjelajahan dunia baru, yang ikut menyumbang perkembangan kapitalisme nantinya, menjadi faktor banyak intelektual organik dimasa itu melakukan gerakan-gerakan Aufklarung terhadap kebebasan dan kemajuan peradaban masyarakat yang humanistik juga bersifat sosial-komunal. Rene Descartes dengan konsep Rasionalisme Cogito Ergo Sum yang dibanyak diskursus sudah sangat terkenal dikalangan aktivis muda, John Locke dengan konsep Empirisme mengenai Esse Est Aut Percipere Aut Percipi yang menyoal kesadaran empirik berkenaan dengan realitas diluar kesadaran dan unsur pengalaman Indrawi. Dan saya rasa, mengenai soalan Empirisme dan Rasionalisme adalah diskursus berabad-abad mengenai reposisi saintifik juga kesadaran subjektif pra objektif, sehingga saya tidak akan lebih lanjut mengenai dua hal itu. Kembali kepada Modernisme, yang diperkirakan telah lahir dengan kata kunci :

·         Etika Kristen Protestan

·         Revolusi Industri dan Spirit Kapitalisme

·         Kritik reaksioner kaum Sosialisme ( Kemunculan Marxisme )



Etika Protestan



Max Webber didalam bukunya yaitu Protestan Ethic menjelaskan bagaimana Kristen Protestan yang muncul di muka bumi, sebagai reaksi atas dominasi atau hegemoni gereja katholik yang mendiskreditkan, menurunkan martabat agama kristen dengan kredo-kredo agama seperti surat indulgensia, relasi kuasa uskup gereja dengan penguasa, dan proses inkuisisi yang menghapus potensi-potensi chaos atau kebebasan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Karena gereja telah memberikan manuskrip yang mengatur kehidupan masyarakat sampai dilevel komunitas terkecil ( keluarga ), gereja dan legitimasi kekuasaan mengontrol penuh hidup rakyat banyak. Salah satu faktor terjadi Perang Salib ( Abad 11 sampai 17 ) diakibatkan pengaruh gereja yang mendorong umat kristiani melakukan Zending dan Holy War sebagai bentuk kesetiaan, pengabdian dan penyebaran agama kristen dimuka bumi. Martin Luther King dan 95 Dalil yang muncul mengkritik hegemoni gereja, hingga abad ke 15 masih mengalami rintangan penuh didalam menyadarkan akan kekuasaan gereja katholik roma, namun memasuki periode Renneissance masyarakat Eropa dan Balkan mulai menyadarai urgensi ilmu pengetahuan yang mengembalikan nalar juga kesadaran sebagai manusia seutuhnya. Disinilah sekularisme mulai muncul sebagai reaksi lapuknya ajaran agama terhadap ordonansi masyarakat, sehingga masyarakat umumnya yang mengenyam pendidikan menjauhkan kegiatan Spiritual dengan kegiatan-kegiatan partikelir, praktis rasio dan empirik menjadi dasar utama ideologi menyasar setiap masyarakat. Tergantikannya katholik dikancah ideologi dunia, mendorong panggung untuk protestanisme yang menggiatkan kesadaran asketisme dengan realitas empirik, yang mendorong produktivitas umat beragama integral dengan kerja-kerja maksimal terorganisir. ” Pernahkah engkau melihat seorang saudagar yang bekerja keras, menghadap seorang raja dengan dipuji dan apresiasi atas kerja kerasnya ? “ kurang lebih itulah cara pandang seorang Benjamin Franklin yang dipakai Max Webber menginterpretasikan kekuatan kristen protestan memandang kehidupan pre-destinasi yang dipandang perlu di maknai dengan kerja keras juga semangat filantropi mengorganisir setiap kegiataan agama. Inilah prinsip yang nantinya menyasar organisasi Islam besar Muhammadiyah didalam membangun gerakan-gerakan islam terpadu dengan modernis juga kebaharuan ilmu pengetahuan.



Revolusi Industri dan Spirit Kapitalisme



Para saudagar kaya juga pemilik modal yang rata-rata beraliran protestan, memang didalam kilas balik kebangkitan Kapitalisme, menjadi faktor utama terjadinya Revolusi Industri 1.0 yang dimulai dari Inggris ( Britania Raya ) pertengahan abad 18 yang menggantikan Home Industry menjadi Industry Manufacture dengan menggunakan modal juga sumber daya manusia untuk mendorong produksi barang-barang pokok atau kebutuhan manusia sehari-hari. Kapitalisme menjadi semacam dorongan alami kepada para pemilik modal dan tanah untuk mendirikan Industri Manufaktur yang menyasar setiap negara-negara maju seperti Britania Raya, Balkan, Prancis, Spanyol dan negara-negara yang menerapkan prinsip kolonialisme untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, militer juga ekspansi perluasan wilayah. Kapitalisme adalah prinsip ekonomi yang didalamnya mendorong produktivitas kegiatan ekonomis dengan modal mikro memanfaatkan sumber daya manusia yang makro sehingga produksi barang dapat terdistribusi dengan baik juga keuntungan yang sebesar-besarnya. Berkembang pesatnya industrialisasi mendorong distribusi, produksi, juga konsumsi mengalami peningkatan. Inovasi mendorong solusi atas pemenuhan barang-barang kebutuhan, sehingga terus-menerus diperbaharui seiring berjalannya zaman. Namun apakah itu nilai produksi dapat diartikulasikan dengan kesejahteraan para pekerja yang mengelola mesin manufaktur ? atau pada para pekerja distributor barang ?, ternyata tidaklah demikian. Dampaknya, menjelang abad ke 19, lonjakan pekerja manufaktur terus meningkat sehingga surplus angka pekerja menjadi berlebih tidak berbanding lapangan pekerjaan atau industri yang waktu itu mulai banyak bermunculan khususnya dinegara-negara Eropa dan Sekitarnya. Akibatnya upah yang mengganti hasil kerja tidak seimbang dengan kebutuhan sehari-hari. Ini cukup beralasan, sebab banyaknya hasil produksi dengan nilai ganti kerja tidak integral, ditambah kebijakan para think tank ( Aparatur Negara ) yang tidak strategis mengenai kesejahteraan masyarakat banyak.



Kemunculan Marxisme



Para filosof Sosialisme purba yang banyak mengkritik kedigdayaan Kapitalisme melalui kemunculan industrialisasi dan kapitasi kesejahteraan, dapat dibilang menjadi titik balik bagaimana Karl Marx dengan konsep Filsafat Ekonomi-Sejarah Materialisme yang sering dikadungkan dengan Marxisme adalah turning point pergerakan kaum buruh yang mempengaruhi banyak gerakan-gerakan kaum intelektual. Karl Marx menyatakan bahwa kapitalisme yang saat ini menjajah setiap belahan dunia dengan prinsip industrialisasi akan mendorong revolusi proletariat yang akan mengubah masyarakat sepenuhnya.  Karl Marx memang salah dalam membaca sejarah, bahwa dimasa depan, buruh akan mencapai kemenangan mutlak dimana menguasai perkakas-perkakas produksi yang menggantikan sistem lama dengan Diktaktor Proletariat juga Masyarakat Sosialisme. Bahwa tanpa disadari, demokrasi yang sudah lama hadir mengalami penetrasi terhadap konsep marxisme yang dianut organisasi-organisasi buruh. Hal itu yang mendorong para Austromarxisme yang cenderung Sosial-Demokratis, menggerakkan aktivitas buruh ke arah parlementer dengan kemunculan partai politik berbasis sosialisme dengan massa utama pekerja. Teori sosial kritis yang berangkat dari analisa tajam golongan Sosialisme Kontemporer, yang sampai saat ini dinilai sebagai pisau analisa aktivisme sangat tajam membelah modernisme. Yang menarik adalah sejauh apapun kritik sosial kritis dilempar berhadapan dengan Modernitas, gelombang perubahan yang tak terelakkan kepada umat manusia adalah suatu barang nyata pasti terjadi.



Konsekuensi Modernitas ( Post-Modernisme )



Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti diskusi yang digagas oleh Majalah Basis yaitu “ Sekolah Basis “. Sekolah Basis merupakan 10 hari diskusi mengenai soalan Teologi, Sosial, Filsafat dan kajian pemikiran kontemporer. Goenawan Muhammad mengatakan bahwa melalui analis Adorno, manusia hari ini telah lama mengkerdilkan makna An Sich  tersebut. Modernitas yang terus bergulir layaknya bola salju, seakan-akan tidak terhentikan didukung kulturalistik manusia dengan budaya konsumsi terhadap kebutuhan akan informasi dan barang pokok. Adorno yang senada dengan Max Weber mengatakan, bahwa kunci utamanya adalah bagaimana manusia mengunci setiap makna dengan apa yang disebut Konsep dan Nilai. Melalui buah fikiran Rasionalistik dan Empirik, segala sesuatu dikunci pemaknaan yang terukur. Apa yang tidak memiliki konsep tidaklah layak masuk gelanggang kebutuhan atau kesadaran manusia. Apa yang tidak memiliki nilai guna juga nilai etis, diasumsikan sebagai anonimitas. Tidak ada kemutlakan didalamnya, sehingga persepsi membangun pandangan bebas nilai yang dalam hal ini, sekularistik ilmu menyumbang proses domestifikasi kejiwaan juga kesadaran. Implikasinya adalah hidup terus mengalami kebaharuan namun kosong pemaknaan. Kira-kira apakah Konsep dan Nilai dapat mengukur keillahian ? bagaimana cara analisa tersebut menginterpretasi hal yang Meta-fisis ? apakah ketidakmampuan merupakan hal yang tidak bermakna ? bagaimana caranya kita menilai alam yang bersifat Unlimited ? lalu ketika segala hal bersifat partikelir dan material, apa arti dari unsur emosional ? pertanyaan-pertanyaan itulah yang mempertanyakan konsekuensi dari modernitas.  Modernitas ditinjau pada ekstensional dan intensional menekankan perubahan yang begitu cepat, komodifikasi hubungan tradisional dengan modern dipusatkan pada eksistensi manusia sehari-hari. Yuval Noah Harari mengatakan, manusia hari ini sudah ditahap dimana menyelesaikan masalah kejiwaan bergantung pada konsepsi material. Tidaklah mengherankan mereka yang terkena problematis kejiwaan, menyudutkan diri pada penggunaan obat penenang atau peningkatan kegiatan instingtif seperti kebutuhan seksual, penggunaan obat-obatan anti depresan. “ Manusia terjebak dalam kerangkeng “, begitulah deskriptif manusia modern hari ini.



Tidak jauh berbeda dengan kehadiran dunia digital, jika kita melihat secara spekulatif dan analitis betapa dunia digital mentransformasi mentalitas generasi Z hari ini. Segala muatan berita, informasi, konten dan User Generated Content ( UGC ), tidak memiliki sumber yang jelas juga tersedia akses kritik yang normatif. Digitalisasi makin membangun sifat individual karena konten-konten yang memenuhi kebutuhan manusia, menjauhkan diri dari interaksi simbolik sebagai masyarakat. Perilaku-perilaku bebas berekspresi di media sosial atau digital, tidak jarang mendorong brutalitas individu sebagai partisipan warga digital. Semakin disadari semakin berbahaya, dimana esensi murni intelektual, juga kesadaran telah lama hilang dari masyarakat dunia. Sekurang-kurangnya kita harus menyadari betul apa yang menjadi tindakan kita dan mempertanyakan setiap hal yang relevan pada fenoumena  manusia modern hari ini.



Penulis tidak ingin terjebak pada solusi atau narasi Trial and Eror didalam memahami disparitas makna dan kesadaran bersosial. Hal itu akan berakhir pada pemutusan kredibilitas proses intelektual, sehingga kita bisa punya perspektif sendiri memaknai modernitas didalam kehidupan sehari-hari. Sekurang-kurangnya cara mudah menyajikan kesadaran tersebut adalah kontra-narasi dan fikiran-fikiran filsafat. Mengapa demikian ? affirmasi menandakan kesamaan, dan kesamaan menandakan narasi yang dibangun adalah positif dalam dimensi nilai. Saya tidak pernah sepakat dengan apa namanya affirmasi, selama itu bukan diwilayah konsensus keimanan. “ saya melihat bahwa.. “ yang seringkali menjadi akar pemikiran kita memang mengkerdilkan makna, ketimbang “ mengapa.. “ yang berfungsi mempertanyakan reposisi makna tersebut. Sejatinya penolakan melalui pertanyaan bukan affirmasi atas kesalahan makna, tapi adalah bentuk rekognisi ontologi terhadap konsesi kesadaran manusia An Sich. Sementara berfikir filsafat secara spekulatif, mendalam dan menyuluruh kiranya banyak melacak makna-makna ambiguitas suatu realitas secara pra-subjektif atau objektif.

=