Oleh : Taruna Alifrido
Mahasiswa FKIP Uhamka
Kemunculan sastra cyber dalam kancah kesusasteraan Indonesia ditanggapi dan diapresiasi secara berbeda-beda. Bahkan, hal ini sempat menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Di satu pihak ada yang menyambut secara positif, tetapi di pihak lain ada yang menyambutnya secara negatif. Disambut secara positif karena kehadiran sastra cyber dapat dengan mudah dan cepat diakses oleh kalangan yang lebih luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain itu, kehadiran sastra cyber melalui media internet memberi peluang bagi penulis yang bergiat di bidang sastra untuk memberikan sumbangsihnya, baik berupa karya maupun pemikiran-pemikiran, tanggapan-tanggapan terhadap karya sastra. Disambut negatif karena sastra cyber dianggap tidak lebih dari sekadar upaya main-main saja. Sastra ini juga dikatakan sebagai sastra yang kualitasnya sangat kurang. dan tidak memberikan kemajuan yang berarti dalam khasanah kesusasteraan Indonesia.
Kehadiran sastra cyber memang membawa keunikan tersendiri dalam khazanah kesusastraan Indonesia maupun dunia karena melalui mediumnya yang dianggap baru, ia tumbuh sebagai implikasi dari perkembangan zaman yang semakin modern. Selain itu, sastra cyber juga dianggap menjadi jalan untuk merespons dinamika kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat dengan segenap isu dan permasalahan yang melingkupinya. Kemunculan sastra cyber di tengah-tengah perkembangan dunia sastra memang menimbulkan pendapat yang tidak homogen karena pada realitasnya ada beragam penilaian yang menanggapi fenomena sastra cyber tersebut. Namun sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya sastra cyber, para penulis pemula dan tentu saja pembaca diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk menulis dan membaca karya sastra yang mereka sukai. Oleh karena itu, perselisihan antara sastrawan senior yang mempertanyakan mutu sastra cyber seharusnya dapat dijawab dengan kemauan untuk merangkul dan mengayomi para penggiat sastra cyber tersebut secara adil dan bijaksana.
Karya sastra digital/siber (cyber) dianggap seperti anak haram atau seperti sampah oleh Asep Sambodja, karena tidak harus melakukan suatu prosedur tertentu untuk hadir di hadapan pembaca. Tetapi di sini banyak orang yang bisa bebas mencurahkan hatinya tapa harus adanya sistem yang mengatur rima dan irama atas argumentasinya.