Notification

×

Iklan

Iklan

Dosen Psikologi Uhamka adakan Pelatihan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Muhammadiyah

28 Desember 2021 | Selasa, Desember 28, 2021 WIB | Last Updated 2021-12-28T16:03:10Z


Serambiupdate.com
Pendidikan merupakan hak setiap anak. Idealnya setiap anak dapat belajar di sekolah yang terdekat dengan lingkungan tempat tinggalnya. Keterbatasan kemampuan finansial maupun non finansial seringkali menghilangkan kesempatan anak untuk mendapatkan pendidikan.

 

Salah satu hambatan terbesar yang dialami oleh anak untuk mendapatkan pendidikan adalah kurang atau adanya perbedaan kemampuan anak yang secara signifikan berbeda dengan anak-anak pada umumnya/anak-anak tipikal. Perbedaan ini tidak selalu mengacu pada kurangnya kemampuan seorang anak. Tidak jarang mereka yang memiliki kemampuan yang menonjol pun mengalami hambatan karena lingkungan tidak memahaminya. Orangtua merasa mereka merepotkan karena banyak bertanya, dan guru disekolah terkadang menganggap mereka nakal dan suka mendebat. Sebenarnya, mereka inilah yang disebut sebagai anak berkebutuhan khusus.

 

Walaupun pemerintah sudah mensosialisasikan tentang siapa sih anak berkebutuhan khusus itu, dan mencanangkan pendidikan inklusi sejak tahun 2000, namun tampaknya pemahaman masyarakat, pembuat kebijakan dan pendidik masih sangat beragam. Untuk itulah Fakultas Psikologi Uhamka mengadakan Pelatihan Identifikasi Dan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus pada guru sekolah dasar di lingkungan sekolah Muhammadiyah.

 

Kegiatan ini melibatkan 30 orang guru sekolah dasar Muhammadiyah dari wilayah Jabodetabek. Pada kesempatan ini melibatkan tiga orang pengajar dari Fakultas Psikologi UHAMKA, yaitu Anissa Rizky Andriany, M.Psi., Psikolog, seorang psikolog Pendidikan; Dewi Trihandayani, M.Psi., Psikolog, seorang psikolog klinis anak; dan Anisia Kumala, M.Psi., Psikolog, seorang psikolog klinis dewasa. Ketiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda ini bersinergi untuk menyampaikan materi dengan sangat sistematis dan komprehensif.

 

Terdapat empat sesi utama dalam pelatihan kegiatan pelatihan ini, yakni Memahami ABK dan Sistem pendidikannya; Mengenali jenis-jenis ABK; Identifikasi Awal ABK; dan Intervensi ABK di setting Sekolah. Sesi awal pelatihan diawali dengan materi yang disampaikan oleh Ibu Anissa Rizky Andriany mengenai siapa sih anak berkebutuhan khusus dan mengapa mereka disebut demikian.

 

“Mengutip pendapat Heward Anak dengan karakteristik Khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik dapat dikatakan sebagai anak dengan kebutuhan khusus“ demikian ungkap Nisa.

 

Peserta pun diajak mengenali perbedaan istilah imparment, disability dan handicap, istilah yang sering digunakan oleh WHO untuk mengambarkan hambatan yang dialami oleh anak.

 

Nisa menegaskan bahwa lingkungan memberikan dampak yang besar dalam memberikan label bagi anak-anak dengan kemampuan berbeda ini sehingga pada akhirnya mereka dinilai dan merasa tidak mampu. Handicap merupakan istilah yang sering digunakan untuk mengatakan bahwa seseorang tidak mampu hanya karena perilaku/cara yang ditunjukan oleh seseorang berbeda dengan kebiasaan sosial yang ada. Oleh karena itu, Nisa mengajak para peserta untuk berfokus pada hal positif yang ada dalam diri anak.

 

Diskusi yang sangat menarik pun terjadi sepanjang sesi pelatihan ini. Seorang peserta bertanya, ”Apakah perlu seorang anak yang tidak merangkak harus mengulangi tahapan tersebut?”.

 

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Nissa bahwa fungsi dari merangkak adalah melatih koordinasi anggota badan kiri dan kanan. Gerakan ini bisa digantikan dengan gerakan menyilang pada brain gym, ballet, maupun olahraga berenang. Sehingga bila usia merangkat telah terlewati dapat digantikan dengan gerakan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan adanya koordinasi yang baik antara anggota badan kiri dan kanan maka akan memudahkan anak untuk berkosentrasi dan mengikuti pembelajaran. Demikian terang Nissa.

 

Dalam sesi pelatihan ini, ketiga pembicara menegaskan bahwa sekalipun peserta telah berlatih dan mendapatkan pengetahuan mengenai anak berkebutuhan khusus, bukan berarti peserta pelatihan dapat mendiagnosa dari gangguan yang dialami oleh setiap peserta didik.

 

Dewi menegaskan bahwa, “di dalam proses pelayanan pendidikan khusus, dibutuhkan kerjasama yang baik antara berbagai pihak, baik pihak sekolah, orang tua, atau lintas disiplin guna mengoptimalkan potensi belajar yang dimiliki oleh setiap peserta didik”

 

Akhir pelatihan ditutup dengan merangkum semua materi yang ada dan diakhiri dengan diskusi untuk memperkuat pemahaman dan menyamakan persepsi peserta mengenai apa yang telah disampaikan. Hampir seluruh peserta menyampaikan kesan yang baik mengenai pelatihan ini. Mereka juga berharap untuk dapat dilakukan pelatihan lanjutan pada waktu mendatang.

=