Notification

×

Iklan

Iklan

Childfree dan Asumsi Masyarakat

13 Oktober 2021 | Rabu, Oktober 13, 2021 WIB | Last Updated 2021-10-13T02:38:47Z


Karya  Anaka irsa santoso

Mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat Fikes Uhamka


Apa yang pertama kali terlintas jika mendengar seorang wanita yang sudah menikah memilih untuk childfree? childfree merupakan keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak atau keturunan. Tentunya keputusan ini diambil secara sadar dan tanpa paksaan orang lain, termasuk pasangan itu sendiri. Wanita yang memilih untuk tidak mempunyai seorang anak atau Childfree, masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia.  Keputusan ini memang sangat personal. ketika seseorang atau pasangan memutuskan untuk childfree tentu mereka sudah memelalui banyak pertimbangan. Termasuk kondisi mental, ekonomi, maupun trauma masa kecil.

Beberapa kalangan masyarakat Indonesia sendiri masih beranggapan bahwa hanya wanita egois yang memilih untuk childfree. Namun nyatanya sifat egois sendiri tidak dapat disudutkan kepada para wanita atau pasangan yang memilih untuk childfree. Tidak ada penelitian yang menunjukan orang-orang yang memilki pemahaman childfree lebih egois daripada orang yang memiliki anak. Pasangan yang memutuskan tidak punya anak juga mementingkan orang lain, tidak hanya tentang dirinya sendiri. Mereka semua sama seperti manusia lainnya hanya pola pikir saja yang membedakan. Jadi, tidak ada buktinya jika pasangan yang memutuskan tidak punya anak memiliki tingkat egois yang lebih tinggi.

Konstruksi budaya masyarakat Indonesia menganggap bahwa kehadiran anak menjadi simbol keluarga yang harmonis, sehingga anak menjadi nilai, norma dan aturan sosial yang berlaku bagi pasangan yang sudah terikat dalam pernikahan. Namun pada masa kini, terdapat perubahan dan cara pandang suami-istri dalam memaknai anak dalam hubungan pernikahan, karena realitas dalam keluarga kontemporer menunjukan bahwa hubungan antara suami dan istri merupakan hal utama dibandingkan kehadiran anak dalam rumah tangga. Apa iya manusia baru bisa merasa lengkap paripurna setelah mengikuti pedoman hidup yang diikuti oleh mayoritas orang?  Kan, tidak juga. kenyataannya pada masa kini terdapat banyak pasangan suami-istri yang merasa hubungan perkawinannya bahagia dan harmonis meskipun tidak dikaruniai anak.

Bagi beberapa orang, kehidupan di masa tua tanpa anak itu nampak suram; tidak ada yang menemani, kesepian sepanjang waktu, kalau sakit tidak ada yang menjenguk, dan lain sebagainya. Padahal mempunyai banyak anak tidak menjamin kita tidak akan kesepian di masa tua. Bukankan anak itu akan mempunyai kehidupannya sendiri.  Jadi, untuk memutus rantai generasi sandwich, mereka memilih untuk hidup tanpa anak karena mereka tidak ingin keturunannya merasakan beban finansial seperti yang ia alami. Atau mereka juga punya trauma pernah mengalami kekerasan dari orang tua toxic, maka dengan segala pertimbangan matang, memilih untuk tidak meneruskan pengalaman buruk itu ke anak-anaknya. Jadi, sebelum dengar cerita lengkapnya, sebaiknya kita tidak mengomentari pilihan hidup orang lain.

Kamu nggak akan utuh sebagai perempuan kalau belum jadi Ibu" Ada kepercayaan umum di masyarakat bahwa mengandung janin selama 9 bulan lalu melahirkan adalah pengalaman fantastis yang membuat seseorang merasakan keperempuanannya. Sayangnya, mengukur keperempuanan hanya sekedar dari kapabilitasnya untuk bereproduksi sudah termasuk pelanggaran otonomi tubuh perempuan. Tidak semua lahir dengan kondisi rahim yang baik, sel telur yang sehat, atau kemauan untuk berhubungan seks dan menghasilkan anak. Gagasan utuh dan tidak utuh, selain hanya akal-akalan patriarki, juga amat kejam. Bayangkan saja terlahir sebagai perempuan, menjalani seumur hidup dengan tubuh perempuan, namun dikata-katai bukan perempuan seutuhnya hanya karena tidak menggunakan rahimnya untuk mengandung. Mau ia menjadi donatur panti asuhan sekian anak pun masih terasa kurang jika tidak pernah hamil sendiri.  Masa iya keperempuanan hanya diukur dari sensasi hamil dan persalinan? Sebagai sesama manusia, ayo berempati dengan cara berhenti mengatur dan menuntut tubuh perempuan lain.

Pasangan suami dan istri harus bisa saling menguatkan mental dan membela satu sama lain saat kebahagiaan rumah tangganya mulai dikritik. Maka dari itu keputusan untuk menjalani childfree marriage harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum mengucap janji suci. Jangan sampai di tengah jalan kemudian salah satu berubah pikiran sementara yang lain masih amat saklek. Kembali lagi semua keputusan ada pada dirimu. Kamu lah yang paling berhak menentukan jalan hidup yang ingin diambil dan semua pilihan akan konsekuensi yang akan dihadapi dan selama kamu tidak menyesali hidupmu itu sudah keren! Karena menjadi orang tua bukan hanya mengandung Sembilan bulan dan melahirkan, itu adalah pekerjaan semur hidup yang akan kamu jalani.


=