Notification

×

Iklan

Iklan

Lima Virus yang Perlahan Mengikis Identitas Nasional Pelajar di Indonesia

25 Juli 2021 | Minggu, Juli 25, 2021 WIB | Last Updated 2021-07-28T09:41:24Z

 

Serambiupdate.com Saat memberikan keynote speech dalam pembukaan forum webinar nasional guru Muhammadiyah, Sabtu (24/7) Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyinggung lima virus pendidikan Indonesia.


Lima virus itu ditengarai sebagai unsur yang pelan-pelan mengikis identitas nasional para pelajar Indonesia dari jati diri bangsa.


“Saya tidak akan bilang dosa. Kalau ada yang bilang dosa pendidikan Indonesia itu nanti terlalu sakral. Saya menyebutnya virus saja,” kata Haedar.


Pertama, virus agnostik atau agnostisisme. Virus ini ditengarai Haedar sebagai bentuk laten dari cara pandang dan kebijakan yang berusaha menjauhkan siswa dari nilai-nilai ketuhanan dan agama.


Dua nilai ini dinegasikan dengan dunia ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai sumber masalah yang sebenarnya justru dimunculkan oleh sejumlah kecil oknum-oknum umat beragama saja.


“Ini semacam alam pikiran sekular di mana ada praktek-praktek terorisme, orang sempit beragama, lalu disebutkan bahwa agama itu adalah sumber masalah. Nah, di dunia pendidikan modern itu sudah mulai masuk,” ungkapnya.


Kedua, virus ‘ekstrimisme dan radikalisme apa saja’. Haedar menengarai kurikulum di dunia pendidikan belum banyak berubah dari sikap yang generalisir dan stigmatif.


Haedar menggunakan kata ‘apa saja’ untuk menolak pandangan bahwa ekstrimisme dan radikalisme hanya identik dengan agama, dan lebih khusus kepada Islam.


“Maka di sini apa saja. Ada ekstrimisme dan radikalisme karena pandangan agama yang ekstrim, misalnya jangan takut virus, takut hanya kepada Tuhan, itu ekstrim. Padahal kata Nabi ikat dulu untamu (berusaha), baru pasrah,” kata Haedar.


“Tapi juga ingat ada ekstrimisme dan radikalisme atas nama kebangsaan, namanya chauvinisme nasionalisme yang itu memandang bahwa nasionalismelah yang utama. Agama dan lain-lain itu nomor dua. Itu ekstrim. Juga ada ekstrimisme radikalisme karena politik, misalkan separatisme atau ideologi misalnya komunisme, liberalisme, dan lain-lain,” jelas Haedar.


Ketiga, virus kekerasan di dunia pendidikan, baik oleh guru kepada murid ataupun murid kepada murid yang lain (perundungan, bullying).


Keempat, virus asusila atau pelecehan seksual. Meskipun kasus ini terbilang kecil, tapi tetap mencoreng dunia pendidikan dan integritas akhlak.


“Memang kecil jumlahnya tapi jangan sampai hal ini menjadi kultur yang terkondisi bahwa kita selalu mentoleransi hal seperti ini karena kalau dunia guru sudah jebol di aspek low model seperti ini saja, jadi siapa lagi yang bisa digugu dan ditiru (jadi teladan)?” pesan Haedar.


Kelima, virus pembodohan, yakni mengajari murid dengan berbagai hal yang tidak selayaknya diajarkan sehingga membuat civitas akademika tidak tercerahkan.


“Maka ini perlu menjadi perhatian kita. Tentu di balik itu ada banyak kemajuan dalam dunia pendidikan kita. Ada banyak kisah-kisah sukses dalam dunia pendidikan kita dan banyak prestasi dari anak didik kita yang ini adalah modal kita untuk memajukan dunia pendidikan dalam rangka optimisme dan tetap semangat karena banyak guru juga yang menjadi teladan,” tutupnya. (AL)

=