Notification

×

Iklan

Iklan

Rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan kebutuhan pokok di Pasar Tradisional

08 September 2021 | Rabu, September 08, 2021 WIB | Last Updated 2021-09-08T10:54:12Z



Karya Ilham Akbar Maulana

Mahasiswa D3 Perpajakan FEB Uhamka

Pengenaan PPN ini masih dalam rancangan undang-undang dan seorang staf ahli menteri keuangan mengatakan langkah ini sangat penting untuk mendongkrak penerimaan pajak negara. Belum ada kepastian kapan aturan ini akan diterapkan. Para peneliti mengatakan pengenaan PPN akan mengusik rasa keadilan karena mempengaruhi daya beli masyarakat sementara sebelumnya pemerintah justru melakukan relaksasi pajak pada penjualan mobil baru.

"Kalau negara mau kenain pajak untuk sembako, berarti negara itu tidak memperhatikan rakyat kecilnya. Baru-baru ini pemerintah ingin menggenjot pendapatan negara dari PPN. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Bahan kebutuhan pokok yang dikenakan PPN antara lain, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Sebelumnya, barang-barang tersebut tidak dikenakan PPN karena menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.

Dalam sebuah utas di Twitter, Staf Ahli Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo memberikan penjelasan mengenai PPN. Menurutnya, aturan ini masih sebatas rancangan yang dipersiapkan di masa pandemi.

Penerapan PPN ini merupakan langkah persiapan optimalisasi penerimaan pajak setelah pandemi, karena sebelumnya "kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun."

Prastowo juga melampirkan sejumlah grafis yang menunjukkan perbandingan nilai PPN Indonesia dengan negara lain. Salah satunya, ia menilai PPN belum optimal karena "terlalu banyak pengecualian dan fasilitas," di antaranya bahan kebutuhan pokok yang telah disebutkan di atas.

Namun ia menekankan kembali langkah ini sebagai upaya menata ulang agar sistem "PPN kita lebih adil dan fair".

"Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10%. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong," tulis Prastowo.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai wacana penerapan PPN pada sembako ini justru sebaliknya: tidak mencerminkan keadilan

Selain itu, jika PPN tetap diberlakukan pada barang konsumsi orang banyak ini maka akan memukul daya beli masyarakat yang berdampak pada indeks keyakinan konsumen (IKK) yang sedang optimistis. Jangan sampai konsumsi yang sudah optimisme itu terhambat hanya gara-gara untuk memajaki aspek kebutuhan pokok. Pada situasi pandemi covid akan sangat berdampak dan akan mempengaruhi masyarakat rentan dan dampak ke ekonomi akan besar.


=